Oleh : Ali Rahman Ibnu Sani(*)
Nafashadhramaut.id | Deskripsi Cinta Kepada Rasulullah saw.
Secara etimologi,
hampir seluruh manusia berinteraksi dalam dunia cinta karena dua perkara; Ada kalanya
karena mendengar atau pun dengan melihat. Namun, agama Islam telah menyerukan kepada kita agar
mencintai seorang yang tidak pernah kita pandang, hidup pada masa 1442 tahun
yang lalu, panutan yang penuh kesima akan akhlak mulianya, ucapannya tidak
tercampur sekalipun dengan marak nafsu, dan namanya tergempar di seluruh
penghujung dunia. Nabi Muhammad saw.
Mencintainya tidak terlalu rumit. Engkau
hanya cukup takzim padanya, patuh akan syariatnya, mengkaji gubahan kisahnya,
sehingga cinta akan tertambat dalam hati begitu saja. Lalu seruan hati turut
menyebut namanya, ibarat pernafasan yang mengelus-elus dalam sela jiwa.
Tidak hanya sekedar cinta, namun
turut berpegang
teguh dengan pedoman hidupnya. Tidak hanya mengikuti saja, tetapi hati juga
menyerukan gelora cinta hingga dapat mempercayainya seyakin-yakinnya dalam
tutur katanya dan affair apa saja yang telah beliau tempuh selama
hidupnya. Mengingatnya adalah sumber ketenangan. Puji syukur kita dijadikan umatnya.
Imam Bushiri dalam Qasidah 'Muhammadiyah'nya
bersyair:
محمد ذكره روح لأنفسنا # محمد شكره فرض على الأمم
“Nabi Muhammad. Menyebutnya adalah kegembiraan dalam jiwa kita # Nabi Muhammad. Mensyukurinya
ialah kewajiban atas umat-umat”
Mengenal Ahlu Bait
Tidak mengenal,
maka tidak akan sayang. Selain mencintai Nabi, seorang mukallaf dituntuni
kewajiban untuk mencintai keluarganya dengan menjaga sopan santun, memandang
dengan kasih sayang. Karena darah Nabi mengalir dalam
tubuh mereka, wajah mereka putih bening, bersih, rapi dalam berpakaian, fasih
dalam berbicara, seolah-olah kita membayangkan bayangan Kanjeng
Nabi bersalin dalam diri mereka. Kita biasa menyebut keluarga Nabi dengan “Ahlu
Bait” atau pun bisa dikatakan: “Ahlul Kisa". Merekalah keturunan yang
bersilsilah dari Rasulullah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidatuna Fatimah
Az-Zahra, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, kemudian juga keturunan-keturunan
mereka sampai hari kiamat.
Dalil yang menunjukkan ketetapan
adanya mereka, dikutip dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang
berbunyi:
إني تركت فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعدي، أحدهما أعظم من الآخر
كتاب الله حبل ممدود من السماء إلى الأرض، ولن يفترقا حتى يردا علي الحوض فانظروا
كيف تخلفوني فيهما.
“Sungguh,
aku telah meninggalkan sesuatu untuk kalian semua, selama
kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat setelah masaku ini. Salah
satunya lebih agung dari lainnya, yaitu (yang pertama) Kitab Allah bagaikan
tali yang dijalurkan dari langit ke bumi. Dan
(kedua) Ahlu Baitku. Kedua-duanya tidak akan pernah
berpisah hingga bertemu denganku di telaga surga. Pandanglah kalian! Bagaimanakah
kalian menggantikanku dalam keduanya.”
Dalam hadits ini diterangkan, bahwa
bagi seorang mukallaf hendaknya meyakini keberadaan Ahlu Bait yang ditakdirkan
oleh Allah semata-mata untuk ketenteraman di muka bumi. Saking agungnya, hingga
Nabi menggandengkan mereka bersama keagungan mukjizat Al-Qur’an yang bertahan dari
masa ke masa. Tidak terubah sedikit pun. Hal itu menjadi bukti akan mulianya Kanjeng
Nabi Muhammad saw. beserta bukti peninggalan bersejarah beliau yang tidak
pernah punah hingga kelak di akhirat (hari kiamat). Bagaimana mungkin ada orang yang
menggantikan dua peninggalan ini? kata Nabi saw.
Al-Qur’an dan keberadaan Ahlu Bait
menjadi keistimewaan umat ini. Berbeda
dengan umat-umat terdahulu yang kitab sucinya telah diotak-atik. Tidak sesuai dengan ajaran Nabi mereka. Bila sudah terbuktikan
seperti ini, maka sebagai seorang mukmin sejati hendaknya kita mengutarakan kecintaan
kita sebagai umat yang berbakti kepada Nabinya dalam rangka bersyukur dapat
termasuk dalam golongan umat Nabi yang mulia ini.
Pertanyaan:
Mengapa Ahlu Bait (keluarga Nabi)
disebut dengan Ahlul Kisa’?
Berlandaskan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dan yang lainnya (Ulama Hadits),
dari ucapannya Sayyidah Aisyah r.a. beliau berkata, “Kanjeng
Nabi saw. keluar di waktu pagi-pagi sekali. Ia
membawa kain yang terbuat dari bulu dihiasi beraneka warna yang
terbuat dari bulu hitam (dalam bahasa Arab disebut kisa'). Saat Hasan bin Ali datang,
Rasulullah memasukannya dalam kain tersebut, lalu Husein juga datang dan ikut
bersama Hasan (masuk kedalam kain itu), kemudian Fatimah datang, ia juga
dimasukkan, hingga Ali datang, pun Rasulullah memasukkannya ke dalam kain tersebut.
Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
menuturkan firman Allah:
إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا.
“Sungguh
Allah hendak menghilangkan kotoran dari kalian, Ahlu Bait dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya."
Oleh karena itu, setelah mereka disaungkan dalam satu kain kisa’, mereka dan
keturunannya disebut dengan Ahlu Kisa’.
Keutamaan Ahlu Bait
Secarik referensi yang kuat
menunjukkan bahwa Ahlu Bait
sebagai realisasi ketenteraman di muka bumi ini, Kanjeng
Nabi Muhammad saw. bersabda:
النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأمتي من الخلاف فإذا ذهب
النجوم ذهبت السماء وإذا ذهب أهل بيتي ذهبت الأرض.
“Bintang-bintang adalah ketenteraman
bagi ahli langit, sedangkan Ahlu Baitku adalah ketenteraman bagi umatku. Dampak
perbedaannya, apabila hilang bintang-bintang,
maka hilanglah langit. Dan
jika Ahlu Baitku punah, maka hilanglah bumi.”
Sebuah puisi untuk memperjelas makna
hadits:
Bintang ketenteraman di angkasa ..
Bintang menenangkan pandangan hati
yang terkelam ..
Mendung dan Angin ketenteraman di langit biru ..
Mendung tempat teduh, Angin memadamkan resah di tubuh..
Kenapa dienggani
kehadiranmu di muka bumi sebagai
utusan penenteram bumi ..
Engkau sebagai kakek dari darah
dagingmu
Warisan ketenteramanmu tidak akan menyepi di muka bumi ..
Timbul Pertanyaan yang lain:
Bagaimana Ahlu Bait bisa menjadi keturunan Nabi Muhammad saw.?
padahal mereka berasal dari keturunan Sayyidina Ali bin
Abi Thalib r.a. ( secara otomatis terputus nasabnya, bukan dari Nabi)?
Jawaban pertanyaan ini adalah dengan berlandaskan hadits yang dipaparkan oleh
Imam Tabrani dalam kitab "Mu'jamul Kabir"-nya, dari
sahabat Jabir yang berbunyi:
إن الله تعالى جعل ذرية كل نبي في صلبه وجعل ذريتي في صلب علي ابن أبي
طالب.
“Sesungguhnya Allah menjadikan jalur
keturunan setiap Nabi dari tulang punggung mereka, sedangkan keturunanku
dijadikan dari tulang punggung (Sayyidina) Ali bin Abi Thalib.”
Hadits ini menerangkan kekeliruan orang-orang dalam keistimewaan sepotong peninggalan Rasulullah saw. yaitu Ahlul
bait yang berasal dari keturunan Sayyidina Ali. Dengan keberkahan dari sang
kakek, Ahlul Bait tersebar di seantero penghujung
alam. Mereka senantiasa membawa panjinya, mengajak
manusia ke jalan yang benar, dan membinasakan kezaliman di muka
bumi. Semua ini adalah pemberian khusus dari Allah kepada Kanjeng
Nabi Muhammad
saw. Berbeda dengan Nabi-Nabi sebelumnya.
Anjuran Mencintai Ahlu Bait
Utamanya dalam cinta kepada mereka
ialah menjaga tingkah, sopan dan
santun. Tidak mencela mereka, walaupun telah berbuat hal yang
dilarang agama, karena tiada keimanan bagi siapa pun
yang tidak mencintai mereka serta tiada kenduri dendam kepada mereka. Tugas kita hanyalah menasihati mereka
(Ahlu Bait) apabila mereka berbuat kesalahan, bukan membenci mereka. Membenci
kesalahan yang dilakukan, bukan membenci pelakunya.
Allah Swt.
berfirman dalam Al-Qur’an:
قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى.
“Katakanlah (Muhammad), aku tidak
meminta kepadamu sesuatu imbalan apa pun atas seruanku kecuali memberi kasih
sayang dalam kekeluargaan.” (QS. Asy-Syura: 23)
Para sahabat bertanya, “Siapakah
mereka, wahai Rasulullah, yang
telah datang perintah dari Allah untuk menyayangi mereka?” Beliau
menjawab, “Fatimah dan kedua anaknya."
Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim
meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.:
من أحب الحسن والحسين فقد أحبني ومن أبغضهم فقد أبغضني.
“Barang
siapa yang mencintai Hasan dan Husein, sungguh ia
telah mencintaiku. Dan
barang siapa yang membenci mereka, maka dia telah membenciku.”
Adapun referensi hadits yang diriwayatkan
Imam Tabari, Imam Ibnu Majah, dan Imam Al-Hakim yang menjelaskan tidak
diperbolehkan menyakiti mereka, serta akan mendapatkan ancaman siksa yang amat
pedih, Rasulullah saw. bersabda:
أنا حرب لمن حاربهم وسلم لمن سالمهم.
“Aku
adalah musuh bagi orang yang memerangi mereka (Ahlu
Bait), dan teman bagi orang yang berdamai dengan mereka.”
Maka tentu, siapa pun yang berani
menyakiti Ahlu Bait, sungguh dia telah menyakiti Rasulullah. Dan barang siapa yang menyakiti beliau, sesungguhnya ia telah membuat Allah murka kepadanya.
Habib Ali bin
Abdurrahman Al-Habsyi memberi sebuah kaidah:
كلما زاد له تشريف زاد له تقريب.
“Setiap kali orang bertambah memuliakan, maka bertambah pula baginya kedekatan.”
Bagaimana bisa cinta,
bila tidak dekat? Bagaimana bisa dekat, jika menyakiti? Dua
pertanyaan ini menghimpit seorang pecinta atas evaluasi diri dalam objek
cintanya, yaitu kepada Rasulullah dan Ahlu Kisa’.
Berikut berbagai syair
dalam membangun diri untuk mencintai keluarganya alaihissholatu wassalam.
Syaikh Al-Allamah Abdurrahman
Al-Kaff telah menyebutkan dawuh syair yang menerangkan rahasia mencintai Ahlu
Bait dalam kitab "Al-Jirob Al-Miskin"-nya, Ibnu Al-Faridh r.a.
berkata:
ذهب العمر ضياعا وانقضى # باطلا إذ لم أفز ممكن بشي
غير ما أوليت من عقد ولاء # عترة المبعوث حقا من قصي
"Umur telah lewat sia-sia dan dihabiskan dengan perkara kebatilan,
itu jika aku tidak dapat meraih apa pun dari kalian (Ahlu Bait).
Hanya saja, aku telah terbiasa
menjalani akad perdamaian bersama keluarga seseorang yang diutus
(Muhammad) dengan benar dari arah kejauhan."
Imam Syafi’i r.a. bersyair:
آل النبي ذريعتي # وهمو إليه وسيلتي
أرجو بهم أعطي غدا # بيدي اليمين صحيفتي
يا أهل بيت رسول الله حبكم # فرض من القرآن أنزله
كفاكم من عظيم القدر أنكم # من لا يصلي عليكم لا صلاة له
Keluarga Nabi adalah jalanku # Merekalah mediaku
Aku berharap dengan bermedia dengan
mereka # besok dapat diberikan catatan amalku
dengan tangan kananku
Wahai Ahlu Bait Rasulullah, Cinta
kepada kalian # Adalah salah satu kewajiban dari
Allah dalam Qur’an yang diturunkan
Cukup derajat untuk menunjukkan
kemuliaan kalian # Bahwasanya orang yang tidak shalawat atas kalian, maka
pahala sholatnya tidaklah sah baginya
(ketika tasyahhud dalam sholat)
Pesan kepada Ahlu Bait
Menjadi seorang yang berketurunan dari
seseorang yang mulia adalah sesuatu kemuliaan, terlebih apabila termasuk seorang Syarif/Sayyid dan lainnya. Namun
bukan berarti terpaku oleh nasab mulia, dapat tertipu
oleh nasab, karena setiap orang dapat berjuang untuk
menuju kemuliaan.
Disebutkan dalam sebuah syair:
ليس الفتى من يقول هذا أبي # ولكن الفتى من يقول ها أنا ذا
Bukanlah anak muda yang berkata “Inilah ayahku”
akan tetapi sejatinya dia adalah yang berkata “Inilah aku”
Nasab bukanlah tolok ukur dalam konteks kehidupan. Namun,
Ahlu bait memiliki keistimewaan yang seharusnya mereka dimuliakan dan dihormati,
sebagaimana kita takzim kepada Rasulullah saw.
Imam Abdullah bin
Alwi Al-Haddad menyebutkan secarik syair:
ثم لا تغتر بالنسب # لا ولا تقنع بكان أبي
واتبع في الهدى خير النبي # أحمد الهادي إلى السنن
Kemudian, janganlah engkau tertipu
oleh nasab
Jangan dan jangan merasa puas dengan
adanya pangkat orang tua
Ikutilah hidayahnya sebaik-sebaiknya Nabi
Ahmad sang penunjuk kepada prinsip yang
benar
Maka, kewajiban bagi Ahlu Bait
adalah menjauhi dari perbuatan tercela, terus berusaha agar tidak memasuki
pintu kehinaan, terlebih lagi terpeleset ke dalam dunia; "Bid'ah-bid’ah
haram, masuk neraka!". Na'udzu billah. Karena ini hanya dilakukan orang-orang yang tersesat, seperti Wahabi, Mujassimah, Syi'ah dan
lainnya yang sangat buruk dan tidak pantas dijadikan panutan hidup.
Semoga Allah
senantiasa memberikan kita keberkahan Nabi dari Ahlu Baitnya, dan kita semua
selalu dijaga oleh Allah Swt. Aamiin.
Waallahu
a’lam.
Referensi:
Mujazul Kalam, Karya Syd. Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba’athiyah.
Salamatud Daroini, Karya Habib Abu
Bakar Al-Adni bin Ali Masyhur.
Ditulis di Mukalla – Yaman, Juli 2020.
(*) Penulis adalah alumni Univ. Imam Syafi'i, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Hadhramaut University.
Posting Komentar