Oleh : Dandi Zaenal Alam(*)
Nafashadhramaut.id | Sudah tidak asing lagi bagi kita dengan sebuah kata yang disebut dengan “Cinta”, bahkan bisa dibilang seluruh pemuda-pemudi di muka bumi ini mengenal dan mengetahui akan adanya cinta.
Namun tidak sedikit dari orang-orang yang belum
mengerti akan arti cinta yang sebenarnya, sehingga banyak
di antara kita yang mengatakan:
"Saya cinta Allah Swt." namun
meninggalkan kewajiban yang diperintahkannya, melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.
"Saya cinta Nabi Muhammad saw." namun meninggalkan sunahnya, lalai akan sholawat
kepadanya, bahkan tidak sama sekali.
"Saya cinta Ibu dan Bapak" namun ia
meninggalkan hak-hak mereka, hingga lupa dengannya.
Dan masih banyak lagi drama cinta seperti ini. Mengaku
cinta, tapi dusta. Mengatakan
rasa, namun tiada, seolah-olah dialah orang yang paling mencinta.
Apakah itu yang dinamakan dengan cinta? Yang hanya bermodalkan kata
tanpa rasa. Sungguh hanya kepalsuan yang nyata!
Ketahuilah! Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dipenuhi
dengan rasa tanpa dusta, yang selalu memilih pendapat kekasihnya akan pendapat
lainnya, yang selalu mementingkan pertemuan dengan kekasihnya akan pertemuan
lainnya, yang selalu mengharapkan ridho kekasihnya akan keridhoan lainnya.
Seandainya bila dipisahkan dengan kekasihnya, maka tak ada yang ia
inginkan selain bertemu dengannya, walau dengan kesulitan yang amat sangat.
Bagaimana tidak? Sedangkan hati dan pikirannya dipenuhi oleh
kekasihnya, hingga ia lupa dengan segalanya selain kekasihnya, seolah-olah
dunia ini milik mereka saja.
Jika memang benar kecintaanya kepada Allah Swt. mana mungkin ia meninggalkan
apa yg diperintahkan oleh-Nya, sedangkan pecinta selalu taat kepada orang yang ia
cintai.
Sayyidah Robi’ah mengatakan,
لو كان حبك صادقا لأطعته * إن المحب لمن يحب مطيع
“Jika seandainya cintamu itu tulus, maka kau akan menurutinya,
karena sesungguhnya orang yang mencinta akan taat kepada orang yang ia cinta."
Ingatlah akan kesempurnaan cinta para Sahabat terhadap Nabi
Muhammad saw. yang selalu ada di sampingnya dan berjuang bersamanya. Mereka rela mengorbankan apa pun yang mereka miliki demi jayanya
agama ini.
Tak ada pemandangan yang lebih indah bagi para sahabat,
melebihi memandang wajah Rasulullah saw.
Abdullah bin Zaid radhiallahu 'anhu ingin pandangan terakhirnya
adalah wajah Nabi Muhammad saw. Saat memejamkan mata, ia tak ingin ada bayangan lain di
benaknya. Ia hanya ingin wajah yang mulia itu tepat di depan matanya.
Bilal radhillahu ‘anhu, seorang sahabat dari
Habasyah. Muadzin Rasulullah saw. Cintanya pada sang Nabi terus tumbuh hingga
maut datang
menghampirinya.
Uwais Al-Qorni, seorang pemuda yang sholeh dan berbakti kepada
ibunya, hingga dijuluki penduduk langit oleh Rasulullah saw. Tak ada yang
mengenalnya di muka bumi, namun namanya terkenal di langit.
Zulaikha yang mengorbankan segalanya demi kekasihnya (Sayyidina
Yusuf alaihi salaam), hingga habislah seluruh hartanya dan kecantikannya.
Bagaimana tidak? Setiap kali ia mendengar ada orang yangg bertemu dengan kekasihnya,
dengan segara ia memberikan harta dan perhiasan yang ia miliki padanya. Jika
sehari saja ada satu orang yang berseru akan pertemuannya dengan sang kekasih,
maka sudah berapa harta yang ia korbankan?
Qais yang dijuluki "Majnun" karena kecintaannya pada
Laila, ia selalu memangggil-manggil namanya (Laila) ketika menyelusuri jalan-jalan
untuk mencari kekasihnya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di
jalan-jalan,. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab
pertanyaan orang-orang, kecuali apabila mereka bertanya tentang Laila.
Dikatakan jika seekor unta terjerat dalam kerinduan yang amat dalam
karena cintanya, maka ia tidak akan melahap makanannya hingga 40 hari, walaupun
beban yang berat di atas punuknya diturunkan.
Tak terasa baginya beban yang berat itu dan mengangkatnya. Karena
seekor unta jika sudah dirasuki kerinduan yang dalam, sulit baginya untuk berpikir
selain kekasihnya. Maka wajar saja dia tidak merasakan
lapar dan beban berat yang ada pada punuknya.
Aduhai cinta, sungguh indahnya!
Begitulah cinta jika merabah ke dalam relung hati. Tak akan ada yang dapat mengobati,
selain berjumpa dengan sang pujaan hati.
Maka apakah pantas disebut cinta, jika hanya bermodalkan kata tanpa adanya rasa dan pengorbanan yang nyata?
Ditulis di Mukalla – Yaman, Januari 2018.
Posting Komentar