Sabtu, 21 November 2020

CINTA PALSU

CINTA PALSU

Oleh : Dandi Zaenal Alam
(*)


Nafashadhramaut.id Sudah tidak asing lagi bagi kita dengan sebuah kata yang disebut dengan “Cinta”, bahkan bisa dibilang seluruh pemuda-pemudi di muka bumi ini mengenal dan mengetahui akan adanya cinta.

 

Namun tidak sedikit dari orang-orang yang belum mengerti akan arti cinta yang sebenarnya, sehingga banyak di antara kita yang mengatakan:

 

"Saya cinta Allah Swt." namun meninggalkan kewajiban yang diperintahkannya, melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.

 

"Saya cinta Nabi Muhammad saw." namun meninggalkan sunahnya, lalai akan sholawat kepadanya, bahkan tidak sama sekali.

 

"Saya cinta Ibu dan Bapak" namun ia meninggalkan hak-hak mereka, hingga lupa dengannya.

 

Dan masih banyak lagi drama cinta seperti ini. Mengaku cinta, tapi dusta. Mengatakan rasa, namun tiada, seolah-olah dialah orang yang paling mencinta.

 

Apakah itu yang dinamakan dengan cinta? Yang hanya bermodalkan kata tanpa rasa. Sungguh hanya kepalsuan yang nyata!

 

Ketahuilah! Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dipenuhi dengan rasa tanpa dusta, yang selalu memilih pendapat kekasihnya akan pendapat lainnya, yang selalu mementingkan pertemuan dengan kekasihnya akan pertemuan lainnya, yang selalu mengharapkan ridho kekasihnya akan keridhoan lainnya.

 

Seandainya bila dipisahkan dengan kekasihnya, maka tak ada yang ia inginkan selain bertemu dengannya, walau dengan kesulitan yang amat sangat.

 

Bagaimana tidak? Sedangkan hati dan pikirannya dipenuhi oleh kekasihnya, hingga ia lupa dengan segalanya selain kekasihnya, seolah-olah dunia ini milik mereka saja.

 

Jika memang benar kecintaanya kepada Allah Swt. mana mungkin ia meninggalkan apa yg diperintahkan oleh-Nya, sedangkan pecinta selalu taat kepada orang yang ia cintai.

 

Sayyidah Robi’ah mengatakan,

 

لو كان حبك صادقا لأطعته * إن المحب لمن يحب مطيع

 

“Jika seandainya cintamu itu tulus, maka kau akan menurutinya, karena sesungguhnya orang yang mencinta akan taat kepada orang yang ia cinta."

 

Ingatlah akan kesempurnaan cinta para Sahabat terhadap Nabi Muhammad saw. yang selalu ada di sampingnya dan berjuang bersamanya. Mereka rela mengorbankan apa pun yang mereka miliki demi jayanya agama ini.

 

Tak ada pemandangan yang lebih indah bagi para sahabat, melebihi memandang wajah Rasulullah saw.

 

Abdullah bin Zaid radhiallahu 'anhu ingin pandangan terakhirnya adalah wajah Nabi  Muhammad saw. Saat memejamkan mata, ia tak ingin ada bayangan lain di benaknya. Ia hanya ingin wajah yang mulia itu tepat di depan matanya.

 

Bilal radhillahu ‘anhu, seorang sahabat dari Habasyah. Muadzin Rasulullah saw. Cintanya pada sang Nabi terus tumbuh hingga maut datang menghampirinya.

 

Uwais Al-Qorni, seorang pemuda yang sholeh dan berbakti kepada ibunya, hingga dijuluki penduduk langit oleh Rasulullah saw. Tak ada yang mengenalnya di muka bumi, namun namanya terkenal di langit.

 

Zulaikha yang mengorbankan segalanya demi kekasihnya (Sayyidina Yusuf alaihi salaam), hingga habislah seluruh hartanya dan kecantikannya. Bagaimana tidak? Setiap kali ia mendengar ada orang yangg bertemu dengan kekasihnya, dengan segara ia memberikan harta dan perhiasan yang ia miliki padanya. Jika sehari saja ada satu orang yang berseru akan pertemuannya dengan sang kekasih, maka sudah berapa harta yang ia korbankan?

 

Qais yang dijuluki "Majnun" karena kecintaannya pada Laila, ia selalu memangggil-manggil namanya (Laila) ketika menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan,. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang, kecuali apabila mereka bertanya tentang Laila.

 

Dikatakan jika seekor unta terjerat dalam kerinduan yang amat dalam karena cintanya, maka ia tidak akan melahap makanannya hingga 40 hari, walaupun beban yang berat di atas punuknya diturunkan.

 

Tak terasa baginya beban yang berat itu dan mengangkatnya. Karena seekor unta jika sudah dirasuki kerinduan yang dalam, sulit baginya untuk berpikir selain kekasihnya. Maka wajar saja dia tidak merasakan lapar dan beban berat yang ada pada punuknya.

 

Aduhai cinta, sungguh indahnya!

 

Begitulah cinta jika merabah ke dalam relung hati. Tak akan ada yang dapat mengobati, selain berjumpa dengan sang pujaan hati.

 

Maka apakah pantas disebut cinta, jika hanya bermodalkan kata tanpa adanya rasa dan pengorbanan yang nyata?

Ditulis di Mukalla – Yaman, Januari 2018.

(*) Penulis adalah alumni Univ. Imam Syafi'i, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Hadhramaut University.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search