Kita telah mengetahui bagaimana kaum minoritas di berbagai penjuru
negeri telah menyebarkan pemahaman yang keliru terkait persolan tradisi kepada
sejumlah umat Islam. Mereka mengeksploitasi pemahaman baru untuk melemahkan seruan
Islam di hati kaum Muslimin.
Lalu, apalagi yang tersisa dari keimanan bila seseorang mengingkari
konsep hakikat Ahlu sunnah wal jama'ah dalam agamanya? Bukankah Islam
mengajarkan kita untuk bersatu, dan tak terpecah belah menjadi beberapa ajaran?
Para pengusung gagasan madzhab kaum minoritas itu telah
kehilangan dua hakikat sekaligus; mereka kehilangan hakikat agama, juga tidak
mendapat hakikat keimanan.
Seandainya mereka bersikap jujur dan ikhlas karena Allah dalam
berdakwah, niscaya mereka akan menghentikan pemikirannya, dan beralih kembali
kepada kelompok Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
Setelah menelaah dalil-dalil yang dijadikan gagasan utama kaum
minoritas dalam beragumen mengenai keharaman peringatan Isra' dan Mi'raj,
mayoritas Jumhur Ulama yang notabenenya ahlu sunnah bersepakat untuk
memberikan bantahan dan mematahkan seluruh dalil mereka. Gugatan mereka dinilai
tidak substansial, pada nyatanya banyak umat muslim yang melakukannya.
Menurut para ulama yang otoritatif di kalangan
Sunni, tradisi peringatan isra' dan mi'raj adalah perkara mubah,
bahkan dianjurkan dalam syariat. Demikian itu karena kegiatan di dalamnya tak
terlepas dari sebuah perkumpulan sejumlah manusia, bertatap muka, menyambung
silaturahmi serta saling menyapa, melantunkan qasidah bersama, menuturkan kisah
Nabi ketika isra' dan mi'raj ke sidratul muntaha, dan ada pula
penyampaian untaian nasihat juga pelajaran-pelajaran lainnya.
Simpulan yang disepakati jumhur ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah,
di antaranya:
1)
Perkara
ini termasuk kategori bid'ah hasanah, sebab terdapat kebaikan di dalamnya.
2)
Pelaku
kegiatan ini tidak perlu berlandaskan dalil khusus, demikian itu karena
peringatan ini adalah perkara mubah.
Adapun penuturan kisah isra' dan mi'raj merupakan perkara yang
dianjurkan dalam syariat, dan tak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.
Persoalan bahwa kaum minoritas mengharamkan
perayaan isra' dan mi'raj dengan merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan
hadits, kaidah ushul, serta akal logika, dapat mudah dijawab oleh ulama ahlu
sunnah wal jama'ah. Berikut penjabarannya:
Bantahan Terhadap Pihak yang Melarang sebuah Perayaan
Meski hukum sebuah perayaan tidak tercantum secara nash
dalam syariat, setidaknya ada beberapa dalil yang menunjukan atas keabsahannya:
-
Perayaan
Rasulullah Saw mengingat keselamatan Nabi Musa dan tenggelamnya Fir'aun.
-
Perayaan
seorang sahabat Nabi yang bernadzar untuk memukul rebana selepas kepulangan
Rasulullah Saw dengan selamat dari medan perang.
-
Puasanya
Rasulullah Saw pada hari senin sebagai tanda terima kasih kepada Allah swt atas
hari kelahirannya.
Bantahan Terhadap Pihak yang Berdalil dengan Kalamullah
Pihak penggugat mengambil dalih merujuk kembali kepada firman Allah
swt,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا.
(المائدة:3)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.”
Dalih mereka, tak boleh menambahkan sesuatu yang baru dalam agama, karena
Allah telah menegaskan sendiri dalam firman-Nya, bahwa Ia telah menyempurnakan
agama, dan perayaan isra' dan mi'raj adalah perkara baru yang tak ada dalam
syariat.
Menanggapi syubhat di atas, begini jawaban Ahlu Sunnah, "Ayat
ini tidak bisa dijadikan dalil mengenai keharaman peringatan isra' dan mi'raj,
sebab seorang muslim meyakini bahwa Allah swt telah menyempurnakan agama-Nya
beserta ushul dan kaidah-kaidah umum, tidak beserta dengan
persoalan-persoalan yang silih berganti setiap berkembangnya zaman."
Bantahan Terkait Hadits Nabi
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ
كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه
مسلم).
“Dari Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab
Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara,
adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Menurut mereka, Nabi Saw telah
menegaskan dengan jelas, bahwa setiap perkara baru adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah sesat. Begitupun sama halnya dengan perayaan isra'
dan mi'raj.
Perlu kita ketahui secara seksama, bid'ah yang dilarang itu
memiliki 2 syarat, yaitu: belum pernah dilakukan di masa ke-Nabian dan para
sahabat, dan bertolak belakang dengan dalil-dalil syariat, yaitu Al-Qur'an,
Sunnah, Ijma', Qiyas.
Setelah kita memahami hal tersebut, maka kita nyatakan bahwa peringatan
isra' dan mi'raj tidak termasuk sebagai bid'ah yang sesat, melainkan bid'ah
yang baik (hasanah). Sebab, seluruh agenda di dalamnya terdapat
kebaikan-kebaikan yang dianjurkan syariat, seperti membaca shalawat, untaian
nasihat dll.
Bantahan Terkait Istishab
Istishab yang mereka jadikan dalil kurang
tepat, sebab Istishab hanya berlaku bagi seorang yang membuat ibadah
baru dalam syariat, sehingga dapat dihukumi haram. Lain halnya dengan sebuah
perayaan, yang mana hal ini berasal dari adat istiadat dan telah berlaku sejak
zaman dahulu. Lantas, sebuah adat pun mampu berganti menjadi ibadah bila
diiringi dengan niat, Imam Ibnu Ruslan menuturkan,
"لكن إذا نوى بأكله القوى# على طاعة
الله له قد نوى"
"Tetapi apabila ia makan dengan niat memulihkan tenaga agar
membantunya taat kepada Allah, maka ia akan mendapat apa yang ia niatkan."
Bantahan Terkait Logika
Menyikapi gugatan logika yang dipaparkan kaum minoritas yaitu, "Bila
perkara ini (peringatan isra' dan mi'raj) dianjurkan oleh syariat, maka sudah
sepantasnya tokoh utama yang berhak memperingatinya ialah Nabi Muhammad
Saw."
Maka kita jawab, sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh
Rasulullah Saw belum tentu dilarang atau tidak boleh. Layaknya puasa Daud, tak
ada riwayat bahwa Nabi melaziminya, meski demikian, tidak menjadikan puasa Daud
haram karena Nabi tak mengerjakannya. Bahkan, hal itu beliau anjurkan terhadap
sahabat yang bertanya kepada-Nya mengenai amalan sunnah.
Adapun perkataan mereka, "bila peringatan ini bertujuan
dalam rangka mengingat nikmat yang diberikan Allah kepada Rasulullah Saw, maka
tokoh yang lebih berhak melakukannya ialah Abu Bakar, Umar, Usman dan
Ali."
Kita jawab, sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh Sayyidina Abu
Bakar tidak berarti bahwa itu haram. Tidakkah kita melihat, bahwa Sayyidina
Umar bin Khattab ra telah melakukan perkara baru yang belum pernah dilaksanakan
oleh Abu Bakar di masa pemerintahannya, yaitu dengan mempersatukan shalat tarawih
dengan berjama'ah dll.
Berdasarkan pernyataan di atas, kita mengetahui bahwa setiap
argumen yang dilontarkan oleh pihak minoritas dapat dijawab dengan mudahnya
oleh mayoritas ulama Sunni. Demikianlah kesimpulan
jawaban-jawaban yang dipaparkan ulama dengan metode pengambilan hukum dari
al-Qur’an, hadits, ijma', juga qiyas. [Wallahu
A'lam]
Referensi:
· Al-Ahkam Asy-Syariyyah ba'dhu
Al-Adhat Al-Hadhramiyyah, karya Dr. Fuad
Amr bin Syeikh Abu Bakar.
·
Al-Anwar
Al-Bahiyyah min Isra' wa Mi'raj Khairul Bariyyah, karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.
·
Al-Bida'
Al-Hauliyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz
At-Tawizriy.
·
Mu'jam
Al-kabir, karya Imam Sulaiman bin Ahmad
Ath-Thabraniy.
· Umdatul Qori Syarh Shahih
Al-Bukhari, karya Imam Badruddin Al-Ainiy
Al-Hanafi.
Penulis: @ibnu_zamsy
Editor:
@gilang_fazlur_rahman
Layouter:
@najibalwijufri
Terus dukung
dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial Nafas Hadhramaut di;
IG • FB • TW •
TG | Nafas Hadhramaut • Website | www.nafashadhramaut.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar