Jumat, 13 Januari 2023

“Mengkafirkan Bukan Ajaran Islam” Oleh: Kharis Shidqi (Mahasiswa Tingkat Tiga, Fakultas Syariah, Universitas Imam Syafi’

 



Banyak orang yang salah persepsi dalam memahami sebab-sebab sesorang mampu dikatakan “keluar dari koridor Islam.” Mereka terburu-buru  menghukumi seseorang “kafir” hanya karena menyimpang dari ajaran yang ia yakini. Sampai menyisakan segelintir orang di dunia ini hanya karena berbeda pendapat dengannya.

 

Oke, kita akan berbaik sangka kepada mereka. Mungkin niat Anda baik, niat Anda benar. Melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim untuk Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Namun apakah Anda melupakan satu hal?  Bahwa Amar Ma’ruf Nahi Mungkar perlu dilakukan dengan bijaksana dan penyampain yang benar?

 

Seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran, yang artinya: “Ajaklah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang indah, dan berdiskusilah dengan baik.” (An-Nahl: 125)

 

Seseorang melaksanakan sholat, menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganya. Kemudian kamu melihatnya menyimpang dari jalur yang kamu yakini, lantas kamu menghakiminya dengan “kafir” hanya karna berbeda pendapat denganmu?

 

Perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat diantara ulama sudah ada sejak zaman lampau. Ada yang menyetujui, ada pula yang mengingkari. Ada pendapat yang mu’tamad (kuat) dan ada pula yang lemah.

 

Namun dengan begitu, tidak boleh bagi kita saling menyalahkan dan menjatuhkan. Mengingat akan maqolah bahwa Khilaf al-Ummah Rahmah. Ini hanya perihal Ijtihad, boleh jadi benar dan boleh jadi salah.

 

Al-Habib Ahmad Masyhur Ibn Toha al-Hadad dalam risalahnya berkata: “Semua ulama sepakat atas dilarangnya mengkafirkan orang Islam yang menghadap kiblat. Kecuali jika ia mengingkari akan adanya sang pencipta dan sang maha kuasa, atau ia menyekutukan Allah, atau mengingkari kenabian Muhammad saw. atau mengingkari hal yang harus diketahui dalam Islam secara Dlorurah (keharusan), seperti ke-Esa-an Allah, nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, hari pembangkitan, hari pembalasan, adanya surga dan neraka.”

 

Rasulullah saw. dalam hadisnya juga telah bersabda: “Barang siapa memanggil muslim dengan (kafir atau musuh Allah) dan bukan sebagaimana mestinya, maka tuduhan itu kembali pada dirinya sendiri.”

 

Maka, sebuah sikap yang baik adalah sebagaimana yang dilakukan Sayyidina Ali Ibn Thalib ra. saat ditanya perihal kelompok yang menyimpang darinya. Pengikutnya  bertanya: “Apakah mereka kafir? “Tidak”, jawab Sayyidina Ali. “Apakah mereka munafik?”, “Tidak, mereka masih mengingat Allah walaupun hanya sekelebat.” Terang Sayyidina Ali. “Lantas bagaimana status mereka?”, Sayyidina Ali menjelaskan: “Mereka hanyalah kaum yang terjangkit fitnah yang menjadikannya buta dan tuli.”

 

Maka dari itu, sangat disayangkan ketika seseorang hanya berpedoman dengan potongan hadis:


"وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار"

 

Dengan dalih bahwa semua sesuatu yang baru (dibuat-buat) itu bid’ah, dan seluruh bid’ah menyesatkan, dan segala yang menyesatkan akan masuk kedalam neraka.”

 

Bid’ah, khurafat, tahayyul, kafir, kalimat-kalimat ini seolah-olah sangat mudah mereka sematkan kepada sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. Menganggap bahwa peringatan seperti maulid Nabi saw., pembacaan Tahlil, Tawasul dan ziarah kubur adalah perbuatan yang menyesatkan.

 

Al-Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din berkomentar: “Tidak semua bid’ah (sesuatu yang baru) itu dilarang, namun yang dilarang adalah Segala sesuatu yang melawan ketetapan sunnah dan menyimpang dari syari’ah.”


Mereka gagal memahami akan arti dari hadis  "إيـاكم ومحدثات الأمور" bahwa maksud dari kalimat ini adalah "أن يجعل من الدين ما ليس منـه" (mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama).

 

Sedangkan maulid adalah pembacaan sirah Nabi saw. dan Tahlil adalah pembacaan kalimat Lailahaillah dan dzikir-dzikir, tawasul juga sudah dilakukan sejak dulu bahkan Nabi Adam As. Sempat bertawassul kepada Nabi saw. sebelum dan saat diturunkan ke bumi dan ziarah kubur sudah di tetapkan dalam hadis "كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزروها"  bahwa adanya perintah setelah larangan adalah menunjukkan boleh, sebagaimana dalam kaidah Usul Fiqih:

 

" الأمر بعد النهي يفيد الإباحة "

 

Barometer tidak diterimanya sebuah perkara baru bukanlah “Belum pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan para pendahulu”, namun tolak ukurnya adalah ketika semua itu tanpa ada dasar dan dalil dari Quran dan sunnah. [Wallahu A’lam]

 

===============

Penulis: @charissidqie_

Editor: @gilang_fazlur_rahman

Ilustrator: @najibalwijufri

 

Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial Nafas Hadhramaut di;

IG • FB • TW • TG | Nafas Hadhramaut Website | www.nafashadhramaut.id

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search