Pepohonan masih bernafas, menciptakan udara segar di sekitarnya.
Matahari mulai mengintip dari balik perbukitan. Perlahan terbit menyirami bumi dengan
kehangatan. Pagi yang indah, satu per satu warga desa Ciketug keluar rumah
melakukan aktivitas. Ada yang berkebun, bertani, berdagang ke pasar dan lain
sebagainya.
Di dalam salah satu rumah desa itu, terdapat seorang pemuda yang sangat berbakti
kepada orang tuanya. Namanya Farhan, umurnya masih dua belas tahun, ayah dan
ibunya seorang petani, namun ia selalu merasa hidup bahagaia. Seperti biasa, setiap
pagi Farhan membereskan rumah; menyapu, mengepel lantai lalu kemudian bersiap-siap
untuk pergi ke sekolah. Ibunya menyiapkan sarapan sedangkan ayahnya sudah pergi
ke sawah sejak tadi subuh.
“Farhan…” Ibunya memanggil, Farhan pun segera menghampirinya. “Di atas meja ada nasi sama telur, jangan
lupa sarapan dulu sebelum sekolah, sekarang ibu mau ke sawah mengantar sarapan
buat ayahmu.” Pesan ibunya.
“Iya, Bu. Makasih.” jawab Farhan, kemudian ia mencium tangan ibunya
dengan penuh penghormatan mengharap berkah dan ridhonya selalu. Setelah ibunya
keluar, Farhan segera menuju meja makan menikmati masakan lezat buatan ibunya
tadi, nasi kuning ditemani telur dadar, bismillah.
Belum tuntas ia menghabisakan sarapan, terdengar suara dari luar rumah. Kring
kring, “Ah, itu pasti suara lonceng sepeda Edi,” gumam Farhan dalam
hati. “Farhan! buruan berangkat sekolah, sekarang sudah jam setengah tujuh,”
teriak Edi dari luar. “Tunggu sebentar!” jawab Farhan. Dengan segera Farhan menghabiskan sarapannya,
mengambil tas, memakai sepatu lalu keluar rumah dengan membawa sepeda juga.
Merekapun berangkat sekolah bersama mengendarai sepeda.
Farhan dan Edi sudah duduk di bangku SMP, di desanya hanya ada sekolah
dasar yang memaksa mereka harus pergi ke luar kota untuk melanjutkan sekolah.
Sayangnya mereka tidak memiliki kendaraan bermotor, sebagai gantinya mereka
mengendarai sepeda agar sampi ke sekolah lebih cepat. Perlu waktu dua puluh
menit untuk sampai ke sekolah dengan menaiki sepeda, jadi setidaknya mereka
harus berangkat tiga puluh menit sebelum bel masuk berbunyi agar tidak
terlambat. Sebagian temannya mengendarai motor, namun Farhan dan Edi tidak
pernah mengeluh, bahkan mereka sangat menikmati perjalanan sepedanya, melewati
hamparan sawah yang luas, kebun kebun indah, juga menyebrangi sungai berbatu
yang airnya masih jernih.
“Han, habis sekolah kita cuci sepeda, yuk. Kasihan tuh sepeda kau kotor.” Ajak Edi sambil terkekeh, sebenarnya yang
kotor itu sepeda miliknya bukan milik Farhan.
“Yeah, enak saja, sepedaku selalu bersih, setiap hari selalu aku bersihkan
dengan penuh kasih sayang, hahaha. Tapi tenang, nanti aku temani kau ke sungai
bersihkan sepedamu yang kotor!” kotor? Farhan teringat sesuatu. Tanpa
pikir Panjang Farhan balik arah, kembali ke rumah. “Iya deh iya, janji ya kau temani aku ke..”
“Hai, Han, kau mau kemana?” Edi heran kenapa tiba-tiba Farhan putar arah,
padahal sisa satu belokan lagi mereka sampai di sekolah. “Han, bel masuk
tinggal sepuluh sepuluh menit lagi!” teriak Edi.
“Kau duluan saja, nanti aku nyusul”
jawab Farhan, ia bergegas ke rumah dengan kecepatan penuh. Edi melanjutkan
perjalanan walau merasa heran.
Lima belas menit setelah bel masuk, Farhan sudah kembali tiba di gerbang
sekolah dengan beberapa tetes keringat di wajahnya, kecapen. Syukurlah penjaga
gerbang mengizinkan dia masuk dengan syarat lari keliling lapangan sepuluh kali
sebagai hukuman. Demi masuk kelas Farhan pun melaksanakannya.
Teet, bel istirahat pun berbunyi para siswa
berhamburan keluar mencari jajanan terkecuali Farhan dan Edi, mereka berbincang
membahas kejanggalan yang dilakukan Farhan. “Kamu tadi kenapa, Han? putar arah
ga jelas, padahal ke sekolah tinggal satu belokan lagi. Lihat, akhirnya kau dihukum
gara-gara terlambat.” tanya Edi.
“Ini semua gara gara kau, Ed.”
“Loh, apa salahku?” protes Edi, tidak terima.
“Iya, tadi waktu aku sarapan kau menyuruhku buru-buru, aku pun buru-buru
menemuimu sampai lupa tidak menyuci piring. Ketika aku ingat, aku pulang deh ke
rumah, aku takut Ibuku yang menyucinya.” jawab Farhan santai.
Edi diam, tersenyum, lalu menunduk seolah-olah berbicara kepada meja “Hebat
kamu, han. Sampai sehalus itu baktimu pada orang tua. Kalau aku, membereskan
tempat tidur pun saja tak pernah. Pernah sih, itupun karena terpaksa.”
Farhan tersenyum menatap Edi “Ya begitulah, Ed. Sekecil apapun bakti kepada
orang tua, akan aku lakukan selagi aku bisa, karena aku selalu teringat pesan
ajaib dari Ustadzku kunci kesuksesan hidup adalah dengan berbakti kepada
orang tua, mudah-mudahan saja piring yang aku cuci itu bisa menjadikanku sukses
di dunia dan akhirat.”
Edi mulai menatap Farhan, matanya sedikit berlinang, entah karena terharu
bangga memiliki sahabat seperti Farhan atau mungkin bersedih karena dirinya
belum bisa maksimal berbakti kepada orang tua.
“Hei, Ed. Kenapa kau nangis?” tanya Farhan dengan penuh penasaran. “Tidak nangis kok, aku Cuma kelilipan.” Jawab
Edi sambil mengusap matanya, malu mengakui hal tersbut.
Dan mulai saat itu, Ia bertekad dalam hatinya untuk mengikuti jejak
Farhan menjadi seorang anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya, karena
dia pun sebenarnya tahu betapa wajibnya sikap bakti kepada orang tua yang kemudian
akan diberkahi dengan banyaknya fadhilah dari Allah SWT. Sekecil apapun bentuk
bakti akan ia lakukan. Walau dengan menuci piring, ia yakin Allah SWT akan
membalas dengan keajaiban yang berlipat ganda. [Wallahu A’lam]
===============
Penulis: @abdullah_husein
Editor:
@gilang_fazlur_rahman
Ilustrator:
@najibalwijufri
Terus dukung
dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial Nafas Hadhramaut di;
IG • FB • TW • TG | Nafas Hadhramaut • Website | www.nafashadhramaut.id
Posting Komentar