Masjidil Aqsha,
tempat tujuan Rasulullah dalam perjalanan Isra Mikraj dari Masjidil Haram.
Dzat Allah SWT
bersemayam di atas arasy. Kalau memang polemic ini tidak benar, lantas untuk apa
Rasulullah SAW dimikrajkan ke langit?
Masih saja
menjadi polemic yang tak surut, serta pertentangan yang tak berkesudahan
antara kelompok yang berpandangan bahwa Dzat ilahi bersemayam di suatu tempat
bernama arasy, dan kelompok lain menyakini bahwa Dzat ilahi tidak bertempat
serta tidak memiliki arah layaknya makhluk.
Masing-masing
kelompok ini mengklaim bahwa merekalah kelompok Ahlu sunnah wal Jama’ah yang
mendapat jaminan dari Rasulullah berupa pemahaman lurus yang mengantarkan
mereka selamat dari tergelincir ke dalam jurang neraka.
Istilah Ahlu
sunnah wal jamaah sendiri masih dianggap sebagai istilah yang masih tabu atau
dalam istilah konsentari ilmu ushul fikih disebut dengan Mujmal. Hingga
akhirnya diperlukan ciri-ciri atau karakteristik yang dapat dijadikan acuan
serta bukti dalam membedakan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah orisinil dengan
Ahlus Sunnah wal Jamaah gadungan.
Secara garis
besar, kelompok yang dimaksudkan Rasulullah SAW dalam hadits dengan sebutan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki karakteristik dan semboyan berupa; Berpegang
teguh kepada ajaran (sunnah) Rasulullah, dan penjelasan para sahabat setelahnya.
Ketika ditanya
tentang karakteristik kelompok ini, Rasulullah menyatakan,
"ما أنا عليه وأصحابي"
Sebuah kelompok yang berpegang teguh
atas ajaranku dan petunjuk dari para sahabatku." (HR. Tirmidzi, no; 2565, dari Abdullah bin
Amr).
Adapun pakta (ketetapan) yang digali
dari sumber hukum Islam berupa Al-Quran, Sunnah, maupun konsensus para sahabat
Rasulullah menyatakan bahwa Maha suci dzat ilahi dari segala penyerupaan dengan
makhluk, baik dalam segi dzat, sifat, dan laku-Nya.
Ketetapan
tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa hal yang wajib diyakini oleh
setiap individu yang mengklaim dirinya termasuk bagian dari Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
1.
Meyakini
bahwa segala sesuatu yang terbersit di dalam relung hati mengenai sifat atau
dzat ilahi hukumnya batil, karena perwujudan dzat ilahi tidak mampu direkam
oleh nalar seseorang.
Poin ini
bertumpu kepada ungkapan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (Sahabat karib
Rasulullah) dalam tuturnya,
"العجز عن درك الإدراك إدراك، والبحث عن سر ذات الله إشراك"
"Hakikat percaya keberadaan Allah adalah rasa tidak mampu (untuk
membayangkan perumpamaan dzat-Nya). Adapun membayangkan atau menyerupakan
(perwujudan) dzat-Nya adalah perbuatan syirik."
2.
Bila
ada ayat atau sunnah yang makna lahiriahnya (dhahir al-ma'na) menguatkan
statemen (penyerupaan dzat ilahi dengan makhluk) atau diistilahkan dengan
mutasyabihat, maka dikembalikan pemahaman maknanya kepada ayat atau sunnah yang
bermakna gamblang (muhakkamat).
Semisal ayat
atau sunnah yang menetapkan sifat 'al-yad' atau 'al-istiwa' maka pemahaman
makna dikembalikan kepada dalil (muhakkamat) yaitu firman-Nya;
"لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ"
"Tidak ada suatu hal pun yang serupa dengan dzat-Nya. Dialah maha
mendengar, lagi maha mengawasi." (QS: Asy-Syura: 11).
3.
Meyakini
dan beriktikad bahwa segala kesempurnaan dan sifat mulia ialah milik Allah.
Adapun sifat yang memiliki unsur penyerupaan dengan makhluk, sungguhlah Allah
terhindar dari hal tersebut, semisal membutuhkan tempat, memiliki jisim (anggota
tubuh layaknya makhluk), dan lain sebagainya.
Setelah
menerapkan 3 hal tersebut, bagaimana menjawab klaim dugaan bahwa Allah
bertempat di atas langit, berdalih dengan destinasi Mikraj Rasulullah yang
berakhir di atas langit?
Sebenarnya hal
ini bukan topik termutakhir hingga kita perlu memutar otak lebih keras lagi
demi menjawabnya. Jauh sebelum itu, 800 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 500
an H, Pakar Teologi Islam Imam Fakhruddin ar-Razi membantah hal tersebut.
Beliau
mengatakan:
"ولا يحصل في جهة ولا يكون مقابلاً له، وإنما يصعب على الوهم ذلك من
حيث إنه لم ير شيئاً إلا في جهة فيقول إن ذلك واجب، ومما يصحح هذا أنك ترى في
الماء قمراً وفي الحقيقة ما رأيت القمر حالة نظرك إلى الماء إلا في مكانه فوق
السماء فرأيت القمر في الماء."
“Telah kita ketahui bahwa
Rasulullah mendapat karunia berupa memandang Dzat Allah dalam peristiwa Isra
Mikraj. Namun pandangan tersebut bukanlah sebuah dalih yang menetapkan bahwa
Allah berada di suatu tempat.”
Bilamana ada
yang menyangkal kevalidannya, dan mengklaim atas kemustahilan melihat sesuatu
yang tak bertempat, maka akan kami analogikan kemungkinan tersebut dalam contoh
berikut:
Bukankah ketika
malam purnama engkau mampu melihat bias rembulan di atas permukaan air? Lantas
akankah hal tersebut menunjukkan bahwa bulan purnama tersebut berada di atas
permukaan air tersebut? Tentulah tidak! Karena air hanyalah memantulkan bias
cahaya bulan.
Sebagaimana
pula langit maupun arasy hanyalah tempat yang dinisbatkan kepada Rasulullah
agar mampu melihat Dzat Allah, serta hal tersebut tak mesti menunjukkan bahwa
Dzat Allah bertempat di langit dan di arasy. Sebagaimana bulan purnama yang
terlihat di atas permukaan air bukanlah dalih bahwa bulan berada di atas
permukaan air tersebut.
Dr. Salim bin
Abubakar Al-Haddar, Wakil Rektor Universitas Imam Syafi'i Yaman sekaligus
pemangku tertinggi Mahkamah Agung Mukalla-Hadramaut, menyimpulkan paparan
al-Imam Ar-Razi dalam sebuah kalimat;
"أن محل الرؤية لا يقتضي محل المرئي"
"Tempat untuk melihat tidak menuntut (bahwa) sesuatu yang dilihat
berada di suatu tempat." [Wallahu 'Alam]
===============
Penulis: @muhammadfahmi_salim
Editor:
@gilang_fazlur_rahman
Layouter: @najibalwijufri
Terus dukung
dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial Nafas Hadhramaut di;
IG • FB • TW •
TG | Nafas Hadhramaut • Website | www.nafashadhramaut.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar